Tuesday, January 16, 2007

Pedagang Buah

Malam beranjak tua. Angin sedikit ribut dan berkisaran. Dingin mulai mengurung dan mengepung Jakarta. Sweet surrender sebenarnya setelah sekian lama panas mengacau, tetapi awan hitam mengancam akan menurunkan hujan yang lebat. Petir-pun berkali-kali menggelegar, memaksaku segera meloncat ke dalam angkot yang kebetulan lewat pelan-pelan.

Kupilih duduk di dekat pintu, bukan di belakang supaya tidak ribet jika turun. A..ha, belum begitu banyak penumpang!. Kesempatan untuk mengobrol dengan penumpang lain. Ya. Sebagai manusia dari species ngocol-e nan crigis-sitiz, dulu, kalau kebetulan harus naik angkot ke sekolah, aku suka sekali bertukar cerita dengan penumpang di sebelahku. Dengan begitu, perjalanan di dalam angkot yang sumpek jadi menyenangkan. Tapi aku sedikit kecele malam ini. Boro-boro mengobrol, perempuan setengah baya di sebelahku malah menunduk takut-takut. Dia juga melepas perhiasan yang dipakainya, memasukkan kedalam dompet, dan menggenggamnya erat-erat. Semprul ! I’m not a pickpocket, madam kampret!.

Penumpang lain, juga terlihat menutup diri dan menghindari kontak dengan penumpang lainnya. What happened folks? Ini bukan kamar mayat bung! Let’s talk freely.

Seringkali kita lebih suka menghindar daripada berkomunikasi. Kita menuntut orang lain tahu apa yang kita inginkan. Kita menuntut orang bisa mengerti apa yang kita harapkan. Kita menuntut orang berubah dan bertindak sesuai dengan kemauan kita. Tetapi anehnya, kita diam saja dan berharap itu terjadi dengan semestinya. Bukankah itu seperti menunggu bulan jatuh dari langit? Orang lain tidak bisa membaca pikiran kita bukan? They are NOT mind reader. Tidakkah kita lebih baik mengkomunikasikannya?

Tiba-tiba, seorang kakek berbadan tegap – bak made in fitness centre naik. Madam kampret bergeser dan mempersilakan si kakek duduk disebelahku. Si Kakek mendekap keranjang kosong, sementara pikulannya dia sorongkan dibawah bangku. Beliau mengangguk ramah dan tersenyum padaku.
“ Saya jualan mangga nak “ begitu jawabnya ketika kutanya keranjang itu untuk apa.
“ Nama saya Sumardi, “ Dia langsung menjabat tanganku erat ketika kuulurkan tangan sambil menyebutkan namaku.

Alhamdulillah, akhirnya kedongkolanku atas sikap madam kampret terobati dengan hadirnya Pak Sumardi. Kita melewatkan sekian puluh menit bersama dengan mengobrol akrab. Tidak ada keluh kesah, meskipun beliau harus berjalan kaki memikul dua keranjang mangga seharian. Tidak ada sumpah serapah meskipun kulitnya koyak, dirajam matahari. Tetap gembira dan selalu mengucap syukur meskipun hasil keuntungannya hanya tiga puluh ribu perak per hari.

Tiga puluh ribu sehari..tiga puluh ribu sehari..berjalan kaki seharian..berjalan seharian..pikiranku berputar-putar. Mengapa ada yang harus begitu susah untuk bisa hidup standar saja di negeri ini. It’s not fair, folks. Apakah pemerintah sempat memikirkan pedagang kecil seperti Pak Sumardi? Memberdayakan pedagang kecil?. Sudah saatnya aku harus turun. Tak lupa aku bertanya kepada Madam Kampret mengapa dia memasukkan perhiasannya ketika dekat denganku.
“ Ah..enggak mas..mma.ma..af “ jawabnya pendek.
Aku segera minta sopir untuk berhenti, mohon ijin Pak Sumardi agar bersedia aku bayari ongkosnya, dan turun dari angkot.

“ Terimakasih nak ! “ tiba-tiba Pak Sumardi berteriak. Dia melongokkan kepalanya dan melambaikan tangan kepadaku. Tersenyum dan tetap melambaikan tangan hingga angkot tak terlihat lagi.

Hayat
Penikmat seni dan sayur asem