Saturday, April 07, 2007

Don't abandon yourself

Bukan hanya rumput tetangga, alien juga tampak lebih hijau…

Terpaksa aku menggeledah lagi kenangan-kenangan lama – terutama saat masih sekolah – untuk menyelidiki kapan aku mulai menelantarkan diriku sendiri. Mencari jawaban mengapa aku sempat kecanduan menjadi orang lain. Menjadi sesuatu yang bukan diriku. Tidak percaya diri menjadi diri sendiri. Terseret mode, terbantai rayuan iklan dan tersesat mengekor bayang-bayang idola.

Tidak salah kalau kita menobatkan nostalgia SMA sebagai kenangan terindah. Tetapi ternyata – ketika berusia belasan itu – aku juga seringkali melakukan sesuatu tanpa memikirkan masak-masak konsekuensinya. Itulah sisi buruknya. Aku – remaja yang masih lugu dan rapuh - tidak menyadari bahaya yang sudah mengendap-endap, dan perlahan-lahan, dengan sangat lembut – hingga aku tak merasakannya – menculikku. Menjauhkan aku dari diriku sendiri.

Bak dimabuk beruk berayun, aku mengasyiki sesuatu yang tidak ada gunanya. Dengan tololnya – tak perduli cocok atau tidak cocok – aku mengikuti semua yang didiktekan majalah remaja. Lebih suka melahap tontonan-tontonan tak bergizi di televisi dari pada mengaji. Apa yang dibilang temanku bagus – meskipun tidak kusukai dan bukan gue banget akan aku junjung tinggi. Menyerahkan kedaulatan diri kepada gank-ku. Bahkan soal selera. Pokoknya teman bilang bagus, aku bilang bagus juga. Najis tralala!

Tanpa kusadari aku sudah ber-metamorphosis menjadi alien. Makhluk asing yang tidak mengenal diriku sendiri. Sifat pengecut-ku menjadi akut. Selalu menunggu dulu apa kata teman. Haram jadah bedebah hwarakadah!. Kalau setiap saat mengekor, membeo, mana bisa melangkah gagah di depan? Apa bedanya kita sama bebek?

“ Ha..ha..ha, ndeso! “ Hampir semua teman-teman menyoraki salah satu teman sekelasku yang mendapat kartu ucapan valentine sederhana. Nampaknya buatan pacarnya sendiri. Bukan made in harvest, tidak juga melampirkan coklat yang mahal. Lain sendiri.

“ Memang kenapa? yang penting dia tidak lupa dan tetap sayang aku, “ reaksinya tenang sambil memasukkan kartu ucapan ke dalam tas. Meskipun tak terkatakan, aku mengagumi rasa percaya diri dia yang tidak terpengaruh omongan orang lain. Aku beringsut kearah teman cewek lain yang sedang asyik sendiri membaca buku,

“ Kamu nggak ikutan valentine ? “ tanyaku

“ Valentine? Bid’ah! “, katanya bergurau, sambil meneruskan membaca. Bel berbunyi dan istirahat berakhir. Tapi aku terus saja jadi kampret keparat yang tidak punya jati diri.

Kata temanku, kalau Allah ingin aku jadi orang lain, tentu Allah akan menciptakan aku sebagai orang lain. “Don’t abandon yourself ! “ lanjutnya. Betul juga. Pastilah aku sudah tersesat jauh sekali. Tidak mudah untuk kembali menjadi diri sendiri. Penyesalan memang selalu datang terlambat. Nggak pernah on-time. Tapi nggak boleh putus asa.

“ Allah bermurah hati. Kamu akan dikasih kesempatan hidup 15 tahun lagi “ Seorang nenek-nenek kaya yang sekarat dirumah sakit gembira sekali ketika malaikat berbisik seperti itu di telinganya. Begitu keluar dari rumah sakit dia segera menuju salon kecantikan untuk operasi plastik. Rombak sana, permak sini agar kelihatan muda dan sexy. Tak ketinggalan menyumpalkan silikon di bagian-bagian tertentu. Dia sudah membayangkan hal-hal indah atas wajah barunya. Tapi naas, begitu keluar dari salon, sebuah mobil menabraknya dan dia mati. Kebetulan dia berpapasan dengan malaikat yang dulu membisikinya,

“ Kamu bohong! Kamu bohong! Katanya aku akan hidup 15 tahun lagi!” .

Malaikat sedikit kaget. “ Maaf aku tidak mengenal kamu “ katanya sambil berlalu.

Hayat

Penikmat seni & sayur asem

Berbahagia itu adalah kewajiban setiap orang

Most people are about as happy as they make their minds to be (Abraham Lincoln)

Belum terlalu sore, tapi hujan sudah mengurung kampung kami. Lampu-lampu tempel tak kuasa mengusir dingin. TV hitam putih menggeriap, tak berdaya di kotak kayunya kehabisan aki. Di sudut-sudut dinding cicak menggigil mengintai mangsa.

Hujan selalu membiakkan lapar dan lapar membuat badan lemas. Meja makan kosong. Secuil tempe pun tak ada. Warung soto dan penjual makanan di pasar juga belum buka. Perut perih merintih. Yang paling dibutuhkan saat ini hanyalah makanan, lain tidak.

Didekat rumahku ada penjual krupuk dadu. Bukan sekedar menjual, tapi juga meracik dan menggorengnya sendiri. Aku boleh membeli kapan saja. Kulirik uang di sakuku masih ada lima puluh rupiah. Cukup buat membeli kerupuk dadu – dikampungku orang menyebutnya krecek - satu plastik besar.

Kalau tidak sedang hujan dan sesekali ada gonggongan petir, mungkin tidak ada masalah. Tetapi berjalan dibawah payung yang ujungnya besi, bagiku seperti menggantikan diri jadi penangkal petir. Seperti ikan yang siap dipanggang untuk pesta barbeque. Atau seperti stuntman untuk kambing guling.

Aku memang sedikit gentar pada petir, tapi kebencianku pada kelaparan bisa menjinakkan ketakutanku. Cintaku terhadap hujan juga ikut memompa nyaliku.

Kusimpan uang logam di saku celana pendek dan kucopot bajuku. Berdiri dulu dibawah talang (saluran air terbuat dari seng pada cucuran atap) beberapa saat untuk beradaptasi. Tanpa alas kaki, aku berlari berkecipakan menginjaki genangan air. Sesekali melompat-lompat keasyikan. Lupa ancaman petir. Yang penting harus kudapatkan krupuk.

Rasa krupuk yang gurih-menagih bisa menenangkan perutku. Menendang lapar. Ibu dan kakak perempuanku juga terlihat gembira. Nasi goreng yang sedang dibuatnya akan jadi lebih komplit dengan adanya krupuk. Kembali ada senyum meskipun awan gelap masih membekap langit. Aku berbahagia. Rasanya seperti pahlawan pulang dari medan perang.

***

Mesin uap sudah lebih dari dua abad ditemukan James Watt. Thomas Alva Edison juga sudah menemukan lampu pijar kurang lebih seratus tahun. Tapi apes, listrik belum juga sampai di kampung kami saat itu. Pejabat daerah kelihatannya lebih suka mengurus istri mudanya daripada membangun infra struktur. Pembangunan seperti jalan ditempat.

Tapi selalu ada blessing in disguise. Dimana-mana. Benih kebahagiaan seketika menjadi ranum, di tempat-tempat orang yang susah atau sedang kesusahan. Uang lima puluh rupiah dan krupuk bisa membuatku bahagia. Bahkan, melebihi rasa senangku bisa tidur di hotel bintang lima karena di kasih gratisan dari kantor atau dapat reward karena banyak memasukkan tamu.

Meskipun aku sangat sedih mendengar berita ada ibu mengajak anaknya mati untuk membakar kesulitan hidup. Meskipun aku geram terhadap pemerintah yang lagi-lagi lalai mengurus orang-orang miskin. Tapi seharusnya hal itu tidak perlu terjadi. Karena hidup harus selalu bersyukur. Karena kebahagiaan ditentukan oleh bagaimana kita me-manage pikiran kita. Karena berbahagia itu adalah kewajiban setiap orang.

Hayat

Penikmat seni dan sayur asem.

Klise

Jangan takut berbuat sesuatu yang klise. Everybody does. Aku sering sekali dinasehati dengan peribahasa klise waktu adalah uang. Sering pula disuguhi lawakan garing bedanya demo dan aksi. Demo beroda tiga sedangkan aksi beroda empat. Aku juga melakukan hal-hal yang klise. Mungkin sedikit membosankan bagi orang lain, tapi aku tidak pernah dituntut dengan pasal melakukan perbuatan yang tidak menyenangkan karena melakukannya. Aku juga tidak menemukannya dalam daftar perbuatan yang diharamkan, jadi kenapa harus takut berbuat sesuatu yang klise?. Go for it!. Sudah seharusnya berbuat baik menjadi kebiasaan kita meskipun itu sesuatu hal yang klise. Aku mendefinisikan klise sebagai sesuatu yang pernah menjadi favorit di masa lalu, tetapi pamornya memudar karena terlalu sering muncul.

Hari libur kembali singgah berkunjung. Lembar-lembar halaman koran belum lecek terjamah tangan, padahal di luar, bergantian, penjaja (makanan) keliling sudah mulai beraksi.

Belum banyak penghuni kos yang bangun. Belum ada juga perang aroma kopi, mie instan, dan parfum baru di ruang tamu. Masih sepi. “ Kesepian bilang bahwa engkau telah melupakan aku, “ Aaron Kwok-pun beryanyi termehek-mehek di televisi. But it is normal.

Sepi sunyi masih mendominasi. Nampaknya, tidur dan (mungkin) mimpi di set ke mode extended version semua. Dan jangan mengganggu. Ada peraturan tidak tertulis, bahwa kamu bebas melakukan sesuatu di planet kos, asal jangan berisik di pagi hari waktu hari libur.

“ Selamat pagi Mas Hay !“ sapaan temanku menghentikan sejenak perbuatan (klise) ku membaca halaman olah raga. Aku perhatikan, temanku yang satu ini, selalu menyapa orang lebih dahulu. Tidak heran, dia punya teman banyak sekali.

“ Morning, “ aku tersenyum menatap wajahnya yang berkeringat sehabis olah raga dan dua jurus kemudian aku kembali menggeledah halaman olah raga untuk mencari berita sepakbola.

Menyapa orang. Sesuatu yang seharusnya mudah dilakukan, menyenangkan orang yang yang disapa, tapi tidak banyak orang yang bisa tulus melakukannya. Kebanyakan takut mendapatkan reaksi yang tak terduga. Aku pernah menyapa orang yang baru pulang dari beribadah, dan dia lebih asyik berbicara dengan temannya daripada membalas salamku. Aku pernah salah tingkah ketika orang yang berkantor satu lantai denganku diam saja ketika aku tersenyum mencoba menyapanya. Aku pernah sebal melihat orang yang kusapa hanya menaikkan alis, dan bersikap jumawa sekali.

Sedikit-banyak rekaman peristiwa yang tidak menyenangkan tersebut menjadikanku segan untuk menyapa orang lebih dahulu. Menyulapku menjadi monster yang jutek dan angkuh. Banyak yang menganggap aku galak. Komunikasi yang konstruktif dengan orang lain jadi susah terbangun Dan yang pasti… banyak ruginya.

Aku nggak tahu apakah ada orang yang sengaja tidak mau menyapa orang lain lebih dahulu karena dia berpikir status sosialnya lebih tinggi, atau merasa lebih mulia, sehingga orang lainlah yang harus menyapanya terlebih dahulu. Kalau ada yang berpikir dan punya niat seperti itu berhati-hatilah. Itu benih kesombongan. Orang yang sombong banyak yang akan masuk neraka nantinya. Mungkin banyak yang menganggap nasehat ini klise, tapi bukankah setan dilaknat dan dilemparkan ke neraka karena kesombongannya? Dia merasa lebih baik dari adam karena dia terbuat dari api dan membangkang perintah Tuhan.

Jadi? Meskipun aku belum bisa total menjalankannya. Meskipun kedengarannya klise, izinkanlah aku mengingatkan kembali agar sebisa mungkin kita menyapa orang lain lebih dahulu dengan tulus dan membangun komunikasi yang konstruktif.

Salam,

Hayat

Penikmat seni dan sayur asem