Friday, September 21, 2007

Prasangka

Hari ini ulang tahunku. Sisa black forrest, red wine, sampanye dan sisa kegembiraan masih berserakan di apartemenku. Tapi, Oh! semua itu bakal lenyap tak lama lagi. Si Jahanam itu tahu nomor teleponku. Dia mengirim sms beberapa detik yang lalu : “Kamu menikahi Elsa? ”. Aku belum tahu harus menjawab apa. Segera kumatikan handphone. Si Jahanam itu ternyata sudah keluar dari penjara. Lebih cepat dari perhitunganku. Membayangkan apa yang bakal terjadi membuat keringat dinginku menghambur. Mengusir seketika endorphin dari tubuhku. Perutku mendadak nyeri sekali. Memaksaku duduk membungkuk dipinggir sofa.



“ What’s up honey? “, suara Elsa mengagetkanku. Tangannya lembut memegang bahuku. Pastilah dia terbangun karena mendengar aku mengaduh-aduh tadi. Aku menoleh kearahnya, menjemput wajahnya dengan senyum dan kuusap-usap punggung tangannya. Dia nggak boleh tahu keadaan ini.



“Tidurlah. Kamu pasti masih capek mengurus pesta-ku tadi. Terimakasih ya.” Kupandangi wajah bening itu lekat-lekat. Kusekap dengan mataku. Oh. Tuhan!, aku tak ingin kehilangan dia. Darimana Si Jahanam itu bisa tahu nomor teleponku? Padahal aku sudah menggantinya. Pastilah sebentar lagi dia juga akan menemukan tempat tinggalku? Pastilah…



“Honey, kamu aneh malam ini.“ Elsa terheran-heran, pergi dan tak lama kemudian kembali dengan dua mug coklat panas. Dia menyorongkan satu dan duduk disebelahku. Kujungkirkan mug ke bibirku perlahan-lahan dan kuseruput coklat panas dari mug bertuliskan chocoholic itu. Sebenarnya aku tidak ingin minum ataupun makan saat ini, tapi aku harus menghargai usahanya. Saling menghargai memupuk keharmonisan hubungan kami selama ini. Tetapi aku tak yakin apakah itu tetap akan subur dengan kehadiran Si Jahanam. Pastilah sebentar lagi Si Jahanam itu akan mencincang kebahagiaanku. Melahap dan mengunyah-ngunyahnya dengan senyum kemenangan.



“ Honey, are you all right! “ Bisikan lembut Elsa kembali menarik pikiranku yang sedang terombang-ambing. Aku tersenyum.



“ I wanna dance with you “, Kataku sambil menaruh mug di atas meja, memutar CD dan memenuhi ruangan dengan lagu “Do that to me one more time“-nya Captain.



Hujan masih menggedor-nggedor dinding kaca apartemen. Angin ganas menghempaskan bulir-bulir air. Petir menyalak-nyalak di langit hitam membawa berita buruk. Satu-satunya kebaikan yang kurasakan saat ini adalah pelukan Elsa. Kehangatannya mengalirkan endorphin di tubuhku. Setiap detik yang jatuh tercecer kurasakan menjadi begitu sangat berharga. Apakah ini akan menjadi dansa terakhir? ingin rasanya aku bisa menghentikan waktu. Ingin kukurung rasa nyaman ini. Inilah dansa terindah yang pernah kurasakan. Sial!, wajah Si Jahanam itu selalu menguntitku. Wajahnya yang penuh codet menyeringai. Kurasakan bau kematian semakin tajam mendekat. Kulihat bunga-bunga kamboja menatap dingin calon pusaraku. Kudengar hitam tanah kuburan menggumam menyanyikan lagu selamat datang.



Tiba-tiba kulihat wajah sedih Elsa muncul. Wajah sedih ketika dia habis disakiti Si Jahanam mengendap-endap menyuntikkan keberanian. Tidak sepantasnya laki-laki menyerahkan takdirnya begitu saja ke tangan penjagal. Aku bukan sapi potong. Tidak akan kubiarkan lagi seseorang berbuat semaunya. Harga diriku menggeliat. Tapi apakah aku mampu melawannya?. Keraguan dan rasa takut meringkus pikiranku.



Si Jahanam itu bengis seperti seribu iblis. Dia dipenjara karena membantai dua pengamen yang kepergok masuk rumahnya dan mengambil hand phone. Satu pengamen ditemukan di bath tub, hampir tenggelam oleh darahnya sendiri. Yang lainnya tersungkur dilantai dengan kepala pecah. Orang-orang mengutuknya karena media massa melaporkan si pengamen itu sedang butuh uang buat berobat adiknya. Kenapa harus dibunuh? Di pengadilan dia mengaku bahwa dia sedang mabuk dan stress karena di tinggal pacarnya. Kalo kamu ingin tahu, Elsa sebelumnya adalah pacar Si Jahanam.



Sebenarnya, sejak awal aku tidak setuju mereka berpacaran. Tetapi aku juga tidak mau dianggap sebagai setan sirik penjagal hubungan mereka. Apalagi kami bertiga bekerja di kantor yang sama dan Si Jahanam itu tampak bersungguh-sungguh. Jadi aku memutuskan untuk membiarkannya meskipun kekhawatiran selalu mengikuti dari belakang. Ya. Aku pantas khawatir karena aku tahu Si Jahanam itu licik, sangat ambisius dan tidak segan-segan menggunakan cara-cara culas guna melesatkan karirnya. Wajahnya yang penuh luka berbisik kepadaku bahwa dia adalah masalah di masa lalu. Perangainya yang temperamental dan meledak-ledak sering membuat karyawan takut dan membuat mereka tidak nyaman bekerja. Dia bahkan pernah memecat assisten kepercayaannya sendiri tanpa ampun. Dia bilang itu dilakukannya karena Presiden Direktur tahu dan kesal. Si Assisten itu ternyata kawan baik musuh Pak Presdir. Dasar penjilat laknat!. Aku merasakan ada tujuan lain dia memacari Elsa. Bukannya tanpa alasan aku menyimpulkan demikian. Meskipun masih muda dan karyawan baru, Elsa adalah Sekretaris Presdir. Pak Presdir sendiri yang memilih dari sekian banyak kandidat. Pastilah dia memacari Elsa hanya untuk memanfaatkannya. Dia harus menguasai orang-orang yang dekat dengan sang penggengam kekuasaan di kantor untuk mempertahankan posisinya. Dia harus bisa menguasai orang-orang karena dia tidak menguasai pekerjaan. Dia bukan muncul dari tangga karir. Dia masuk kantor ini karena pernah menyelamatkan nyawa Presiden Direktur ketika di rampok di lampu merah. Sikap bengis dan arogan bisa menyembunyikan idiotnya. Aku seperti punya andil melemparkan Elsa ke Jurang tak berdasar. Semoga Si Jahanam itu berubah dan otak iblisnya-nya diseret serta ditenggelamkan oleh cinta Elsa, begitu doa dan harapanku saat itu.



Tetapi nampaknya doa dan harapanku masih masuk waiting list. Elsa kelihatannya makin lama justru makin frustasi. Dibalik sikapnya yang selalu ramah di kantor, awan hitam menggayut di matanya.



“ Berkomitmen menjadi pacar apakah sama dengan menanda tangani kontrak sebagai perawat yang senantiasa harus menjaga dan melayani segala keperluannya? “ begitu pertamakali Elsa mengadu setelah dua bulan pacaran. Padahal sebelumnya hanya pujian kepada Si Jahanam dan wajah bersih-bersinar yang selalu dia perlihatkan padaku.



” Relationship is reciprocal; suatu hubungan selayaknya memperhatikan kepentingan kedua belah pihak. Take & give. Bukan salah satu menjadi budak bagi yang lain. Di rumah dia memperlakukan aku seolah-olah aku sekretarisnya! “ begitu selanjutnya Elsa mengeluh. Juga menghambur-hamburkan sumpah serapah. Tentu saja dia melemparkan semua gundah dan kekesalannya kepadaku secara sembunyi-sembunyi setiap ada kesempatan.

“Aku tidak mau menggendong urusan pribadi ke kantor “ begitu jawabnya, ketika kutanya kenapa di kantor selalu nampak harmonis.

“ Aku terbiasa bersikap profesional “ Dia mencoba bersikap tabah.



Hari-hari selanjutnya minggu-minggu berikutnya hanya tangisan dan wajah sedih yang dipunyai Elsa setiap bergerilya dan ketemu denganku diluar kantor. Kelakuan si Jahanam itu makin lama makin gila. Elsa mengadu dia sering dipukuli dan diperlakukan seperti sampah. Dikekang seperti kuda tolol, Dibentak di depan orang banyak, Di tuding-tuding mukanya kalau sedang marah, dan tidak boleh hang out lagi dengan teman-temannya. Suatu sore dia membawa luka dan wajahnya yang lebam membiru.

“ Rasanya aku sudah tidak tahan lagi, “ Elsa terisak-isak.

“ Kata maaf yang selalu diucapkan setelah berbuat kasar, ternyata bohong besar. Tidak tulus, “ katanya tersendat-sendat.

“ Aku terlalu bodoh selalu memaafkannya dan berharap bahwa suatu saat dia akan berubah. Aku bodoh!. Dia tak mungkin berubah” .

Pandangan matanya berubah hampa. Itulah wajah paling sedih yang pernah aku lihat. Aku bergegas memeluknya. Tidak berkata apa-apa.



“ Honey, why are you crying? “ Bisik Elsa menyeruak diantara barisan nada-nada lagu sendu. Nampaknya tetesan airmataku mengenai wajahnya.

“ Aku nggak apa-apa, “ jawabku sambil mengusap-usap punggungnya dan meneruskan berdansa. Entah sudah lagu yang keberapa. Wajah Si Jahanam itu merongrong pikiranku. Pastilah dia sedang mencari-cariku untuk menuntaskan masalah Elsa. Sudah menjadi kebiasaannya bahwa dia selalu menyingkirkan setiap orang yang menghalangi kehendaknya. Masih terngiang-ngiang ditelingaku ancamannya.



“ Elsa jadi liar sekarang. Tidak mau diatur, “ Si Jahanam itu kelihatan sangat geram ketika berkata demikian. Kami sedang makan siang bersama., kira-kira satu bulan setelah Elsa bergerilnya mengadukan kelakuan bengisnya untuk kali pertama. Elsa memang tidak masuk hari itu.

“ Tidak boleh ada yang menentang kehendakku. Aku tidak ingin boss menganggap aku tidak bisa mengatur orang. Ini tidak baik bagi perusahaan. Pastilah ada yang menghasutnya, “ rahangnya bergemerutuk membendung amarah. Belum sempat aku menanggapi, dia sudah berkata lagi,

“ Kalau dia lelaki, akan kuhajar habis-habisan orang itu ! ”

Puh! Orang ini selalu mengganggap orang lain bersalah. Selalu menganggap tindakan dirinya selalu benar. Aku yang tadinya ingin memberi saran dan masukan agar hubungan mereka tetap harmonis jadi batal. Nafsu makanku juga hilang melihat amarahnya memenuhi seluruh restoran.



Sampai dua minggu berikutnya aku tidak menemukan waktu yang tepat untuk bicara dengannya. Padahal Elsa makin sering mengadukan kelakuannya kepadaku. Tidak jarang di datang ke apartemenku hanya untuk berkeluh kesah. Makin sering kulihat Elsa menangis, makin besar simpatiku padanya. Aku tidak ingin hal ini berlarut-larut. Aku harus segera memberitahu Si Jahanam agar mengubah perilakunya dan memahami perasaan Elsa. Kebetulan ada meeting bersama di luar kota dan kami sukses. Di sudut lounge di hotel tempat kami menginap, Si jahanam itu masih sok mengajari agar memperbaiki presentasiku. Dia masih belum puas katanya meskipun klienku terkagum-kagum dan setuju proposalku. Puh, Setan arogan ! Aku mengekang amarah. Menjaga suasana agar misiku tidak kacau. Ketika kurasakan dia sudah kenyang ceramah, aku mulai singgung pelan-pelan masalah Elsa.

“ Jangan mengguruiku ! “ hardiknya. Tangannya yang besar tiba-tiba mencengkeram krah bajuku. Pengunjung yang lain menoleh kearah kami. Aku kaget setengah mati. Seumur hidupku baru kali ini aku diperlakukan orang seperti ini.

“ Kalau kamu loyal dan tidak ingin para manager disini dilecehkan, cari orang yang menghasut Elsa dan bawa kepadaku. Kalau perlu kubunuh dia. Aku tidak ingin manajemen kehilangan muka. Tidak satupun orang boleh menentang kehendakku. ‘Business is tough bung!. We have to vigilant, ‘ begitu kata Pak Presdir. Sekecil apapun potensi yang akan mengganggu kepentingan perusahaan harus kita libas. Kita bukan pimpinan yayasan nirlaba. Kita juga bukan ulama atau pendeta yang harus berkotbah menyejukkan hati dan perasaan bawahan kita. Kantor bukan pengajian. Tugas kita menggemukkan revenue. Mengalirkan uang ke rekening perusahaan, begitu kata Pak Presdir, “ mulutnya memuntahkan lava kata-kata bagaikan gunung berapi pecah bengkak bisulnya. Dia melepaskan cengkeramannya. Aku terbatuk-batuk. Kagetku berangsur-angsur hilang, meskipun aku masih agak gemetar.



Puh! dasar penjilat; kata Pak Presdir, kata pak Presdir, makiku dalam hati. Bisanya hanya membeo!. Emosiku mulai terbakar. Segera kusiram dengan white wine dingin dan kutarik nafas panjang agar tidak menjalar. Kenapa Elsa (atau yang membuat Elsa berubah) yang dituduh sebagai sumber masalah? Kulihat sikap dan kerjanya dikantor bagus. Bukankah sikapnya yang selalu menjilat atasan dan gila hormatnya-lah bibit masalah sebenarnya? Bukankah sikapnya yang tidak mau menelan kritik dan masukan yang membuat sakit super egoisnya tambah parah? Menurutku hanya karena jabatannya saja, orang masih mau mendengarnya. Sepertinya Si Jahanam ini sudah cacat otak. Jiwanya juga sudah teramputasi sehingga kesana-kemari harus memerlukan kekuasaan dan uang supaya bisa berjalan tegak. Aku heran, disaat umur bumi semakin tua, banyak orang justru sering menggunakan manajemen purba. Istilah atau sebutannya saja yang diubah. Staff hanyalah eufemisme dari budak. Buruh selalu dianggap kacung. Hati dan perasaan jarang dibawa ke kantor.

“ Kamu mau pesan yang lain? “ pertanyaan Si Jahanam menghentikan sejenak laju pikiranku saat itu. Dia minta waitress menambah white wine. Tidak minta maaf dan seolah-olah lupa bahwa dia barusaja mempermalukanku dimuka umum. Kebencianku kepada Si Jahanam bertambah. Tapi aku juga pengecut yang masih takut akan posisinya.



Tiba-tiba bibirku terasa hangat. Aku sedikit kaget. Rupanya Elsa menciumku : “ Honey, what’s happened? “ bisiknya sambil menatap mataku lekat-lekat. Aku tersenyum dan menggeleng. Dia mencari remote control dan menekan tombol power. Mengakhiri dansa.

“ All right, ayo kita tidur “ Katanya sambil menarik tanganku. Aku tersenyum lagi dan mengangguk. “ Thanks for the dancing. Kamu duluan. Aku mau sikat gigi dulu “ Dia melepaskan tanganku. Aku berbelok ke kamar mandi.



Beberapa menit kemudian kususul dia ke tempat tidur. Kurapikan piyamaku dan berbaring disinya. Kutatap lekat-lekat lagi wajah cantik yang sedang terpejam itu. Kukecup keningnya dengan lembut dan menyinggahkan kata, “Have a nice dream honey“

Matanya terbuka dan tersenyum,

“ You’re too. “ katanya sambil mengangkat kepalanya dan mendaratkannya ke dadaku.

Kuusap-usap lembut punggungnya. Kali ini tidak kan kubiarkan lagi Si Jahanam itu menyakiti Elsa. Dia sudah menjadi istriku dan tak seorangpun boleh mengganggu rumah tanggaku. Pikiranku kembali melayang dan teringat waktu aku melamarnya dulu.



“ Aku sadar kamu sudah punya pacar “ demikianlah aku memulai. Seperti biasa dia menangis di pelukanku. Membawa wajah lebam setelah di hajar Si Jahanam.

“ Mungkin juga ini bukan saat yang tepat untuk bicara. “ Otakku berpikir keras meramu kata-kata. Sejenak dia berhenti menangis dan mendongakkan kepalanya. Dia terlihat sedikit bingung.

“ Akupun juga akan mengerti kalau kamu menyangka aku memanfaatkan situasi, “

Dia nampak semakin bingung. Pandangan matanya mengulitiku. Aku membalas tatapan matanya dan kunyatakan perasaanku : “ Aku tidak tahan melihat wajah sedihmu lagi .. “

Hanya sepi mendominasi sebelum aku bisa melanjutkan bicara.

“ Semampuku, seumur hidupku, aku akan menjaga agar wajah sedih itu tidak muncul lagi di wajah cantikmu. “ kataku sungguh-sungguh.

Dia diam saja. Hanya pelukannya bertambah erat. Dalam keheningan malam hatiku gaduh.



Pagi harinya seluruh kantor geger. Presdir mengadakan rapat mendadak. Tiga peristiwa mengagetkan terjadi. Pertama, beliau mengumumkan bahwa Elsa sudah mengundurkan diri. Berita ini sekaligus menjawab keherananku mengapa dia tidak ke kantor pagi ini tanpa memberitahuku. Kedua, aku diangkat jadi Wakil Presiden Direktur dan ketiga, beliau juga mengumumkan bahwa Si Jahanam mengundurkan diri. Si Jahanam kelihatan tegang meskipun dia mengangguk-angguk membenarkan. Dia langsung pulang setelah rapat. Sore harinya kantor bertambah heboh karena Si Jahanam membunuh pengamen itu. Sementara Elsa menghilang tak bisa dihubungi.



Tiga bulan kemudian, Elsa menelponku dan bertanya apakah aku benar-benar mencintainya. Dia mau diajak menikah asal resepsi pernikahannya ditunda sampai ada waktu yang tepat. Dia masih malu karena dia pernah menjadi pacar Si Jahanam dan tidak ingin teman-teman kantor tahu dulu. Meskipun terasa agak aneh bagiku, kusetujui syaratnya. Tapi aku minta agar Pak Presdir dikecualikan. Aku tidak ingin menyembunyikan hal ini dari pimpinanku. Dia setuju. Secara rahasia kami berdua bertemu Pak Presdir untuk menjelaskan rencana pernikahan kami. Beliau setuju dan memahami alasan kami untuk tidak mengadakan resepsi dulu sampai ada waktu yang tepat.



Setelah akad nikah, kami mengadakan pesta kecil saja di Bali. Hanya keluarga dan kerabat dekat yang diundang. Pak Presdir menyediakan presidental suite di sebuah hotel berbintang lima dan limo untuk kami pakai bulan madu selama seminggu. Kami berbahagia sampai sekarang.



Tapi kebahagiaan dan kesenangan sering melenakan. Rasa nyaman adalah candu yang memanjakan sifat egois dan membuat kita lupa bahwa kita punya kewajiban terhadap orang lain. Membuat kita terbang menjauhi bumi.



Kebahagiaan kami berdua ternyata juga membuat kami lupa bahwa kami masih punya “dosa” merahasiakan pernikahan kepada teman-teman kantor. Kami belum mengadakan resepsi buat mengundang teman-teman kantor.



Pikiranku makin berputar-putar. Elsa tampak sudah tertidur pulas disampingku. Aku sering memandang wajahnya waktu dia tidur. Meskipun aku tidak tau dia tengah bermimpi apa, tetapi melihat wajah tenangnya ketika tidur sungguh melegakanku. Setidaknya dia tidak sedang bermimpi di hajar oleh Si Jahanam.



“ Harus kuselesaikan semua ini. Once and for all. ! “ pikirku dalam hati. Sudah jelas akar masalahnya: Si Jahanam !. Kalau dia tidak kusingkirkan dulu, dia akan terus menggeramus kebahagiaan kita berdua. Demi Elsa, demi kebahagiaan kita berdua, demi mempertahankan harga diriku, akan kulenyapkan Si Jahanam. Harus kulenyapkan dari tanganku sendiri, bukan dengan tangan orang lain. Aku tidak ingin sikap pengecut dan sikap tidak bertanggung jawab tumbuh subur dalam diriku.



Kuambil pistol yang selama ini kusembunyikan di safety box-ku. Aku sengaja menyimpannya meskipun aku punya ijin. Aku takut sikap sombong dan arogan akan menguntitku jika aku membawanya. Tapi kali ini, terpaksa harus kubawa kemana-mana. Aku tidak ingin Si Jahanam membunuhku terlebih dahulu. Mengapa penjahat kejam seperti dia bisa bebas lebih cepat? Mengapa dia bisa tahu nomor telepon-ku? Pertanyaan-pertanyaan yang terus membuntutiku. Tapi aku sudah gelap mata. Kuhidupkan Handphone-ku dan kutekan **** ketika diminta memasukkan PIN. Ku balas SMS si Jahanam, meminta bertemu malam ini juga, disuatu tempat.



***



Elsa membangunkanku sambil menangis tersedu-sedu, memberitahukan bahwa Si Jahanam ditemukan tewas. Dia menyuruhku membaca Koran pagi. Aku kaget setengah mati karena semalam aku tidak jadi membunuhnya karena dia justru nampak ketakutan dan minta maaf. Penjara telah membuatnya sadar rupanya. Kupeluk istriku dan kutenangkan,

“ Aku akan membantu polisi mencari pembunuhnya “ kataku.

Dengan terbata-bata Elsa berkata : “ Meskipun dia sering menyakitiku, tapi aku merasa bersalah atas kematiannya, “ Elsa masih terisak-isak.

“ Aku yang melaporkan hubungan gelapnya dengan Agus, anak Pak Presdir, hingga dia dipaksa Pak Presdir mengundurkan diri. Dia adalah seorang gay !“ Aku terhenyak tidak percaya.

“ Meskipun aku nggak punya bukti, aku punya feeling bahwa dia di penjara dan dibunuh supaya martabat keluarga Pak Presdir tidak tercemar. “



Hayat

Penikmat seni dan sayur asem.