Saturday, April 07, 2007

Klise

Jangan takut berbuat sesuatu yang klise. Everybody does. Aku sering sekali dinasehati dengan peribahasa klise waktu adalah uang. Sering pula disuguhi lawakan garing bedanya demo dan aksi. Demo beroda tiga sedangkan aksi beroda empat. Aku juga melakukan hal-hal yang klise. Mungkin sedikit membosankan bagi orang lain, tapi aku tidak pernah dituntut dengan pasal melakukan perbuatan yang tidak menyenangkan karena melakukannya. Aku juga tidak menemukannya dalam daftar perbuatan yang diharamkan, jadi kenapa harus takut berbuat sesuatu yang klise?. Go for it!. Sudah seharusnya berbuat baik menjadi kebiasaan kita meskipun itu sesuatu hal yang klise. Aku mendefinisikan klise sebagai sesuatu yang pernah menjadi favorit di masa lalu, tetapi pamornya memudar karena terlalu sering muncul.

Hari libur kembali singgah berkunjung. Lembar-lembar halaman koran belum lecek terjamah tangan, padahal di luar, bergantian, penjaja (makanan) keliling sudah mulai beraksi.

Belum banyak penghuni kos yang bangun. Belum ada juga perang aroma kopi, mie instan, dan parfum baru di ruang tamu. Masih sepi. “ Kesepian bilang bahwa engkau telah melupakan aku, “ Aaron Kwok-pun beryanyi termehek-mehek di televisi. But it is normal.

Sepi sunyi masih mendominasi. Nampaknya, tidur dan (mungkin) mimpi di set ke mode extended version semua. Dan jangan mengganggu. Ada peraturan tidak tertulis, bahwa kamu bebas melakukan sesuatu di planet kos, asal jangan berisik di pagi hari waktu hari libur.

“ Selamat pagi Mas Hay !“ sapaan temanku menghentikan sejenak perbuatan (klise) ku membaca halaman olah raga. Aku perhatikan, temanku yang satu ini, selalu menyapa orang lebih dahulu. Tidak heran, dia punya teman banyak sekali.

“ Morning, “ aku tersenyum menatap wajahnya yang berkeringat sehabis olah raga dan dua jurus kemudian aku kembali menggeledah halaman olah raga untuk mencari berita sepakbola.

Menyapa orang. Sesuatu yang seharusnya mudah dilakukan, menyenangkan orang yang yang disapa, tapi tidak banyak orang yang bisa tulus melakukannya. Kebanyakan takut mendapatkan reaksi yang tak terduga. Aku pernah menyapa orang yang baru pulang dari beribadah, dan dia lebih asyik berbicara dengan temannya daripada membalas salamku. Aku pernah salah tingkah ketika orang yang berkantor satu lantai denganku diam saja ketika aku tersenyum mencoba menyapanya. Aku pernah sebal melihat orang yang kusapa hanya menaikkan alis, dan bersikap jumawa sekali.

Sedikit-banyak rekaman peristiwa yang tidak menyenangkan tersebut menjadikanku segan untuk menyapa orang lebih dahulu. Menyulapku menjadi monster yang jutek dan angkuh. Banyak yang menganggap aku galak. Komunikasi yang konstruktif dengan orang lain jadi susah terbangun Dan yang pasti… banyak ruginya.

Aku nggak tahu apakah ada orang yang sengaja tidak mau menyapa orang lain lebih dahulu karena dia berpikir status sosialnya lebih tinggi, atau merasa lebih mulia, sehingga orang lainlah yang harus menyapanya terlebih dahulu. Kalau ada yang berpikir dan punya niat seperti itu berhati-hatilah. Itu benih kesombongan. Orang yang sombong banyak yang akan masuk neraka nantinya. Mungkin banyak yang menganggap nasehat ini klise, tapi bukankah setan dilaknat dan dilemparkan ke neraka karena kesombongannya? Dia merasa lebih baik dari adam karena dia terbuat dari api dan membangkang perintah Tuhan.

Jadi? Meskipun aku belum bisa total menjalankannya. Meskipun kedengarannya klise, izinkanlah aku mengingatkan kembali agar sebisa mungkin kita menyapa orang lain lebih dahulu dengan tulus dan membangun komunikasi yang konstruktif.

Salam,

Hayat

Penikmat seni dan sayur asem