Saturday, December 10, 2005

Surat Kepada Setan

Kamis, 10 Nov 2005, menjelang jam 20.00 waktu pal merah.

Malam Jum’at yang tidak mencekam.. Tidak ada burung hantu yang mengintip dari rimbunan pohon. Lolongan srigala pun tak terdengar. Padahal aku lagi pengen melihat orang yang mau membacakan surat kepada setan. Setelah membeli karcis, mengisi buku tamu , aku dipersilahkan masuk melalui pintu yang sudah ditentukan. Semburan angin dari pendingin ruangan menyergap tubuh ku yang tidak mengenakan jaket. Tirai di belakang pintu masih pamer, menyisakan goyangannya ketika pintu tertutup kembali. Kupilih tempat duduk di tengah. Disamping kiriku duduk perempuan berasesoris etnik. Umurnya mungkin mendekati gocap. Meskipun sudah beruban, tapi masih kelihatan nyeni. Didepanku, sebelah kiri, tampak sesosok tubuh berpakaian hitam-hitam seperti warok ponorogo. Brewok dan konstruksi tubuhnya membuatku berpikir : “ Wah, mungkin ini kloningnya Jaduk ! “. Wajahnya yang cemberut membuat malam jadi sedikit lebih tegang. Disebelah kanannya, tiga orang ABG asyik mengoceh dan memencet-mencet keypad handphone. Sesekali masih sempat menelpon. Padahal pertunjukan sudah akan dimulai. Aku lebih memilih diam dan mematikan HP. Agar pertunjukan nanti tidak terganggu. Setelah diumumkan bahwa pertunjukan akan dimulai, lampu ruangan dimatikan. Aku menengok kanan-kiri, depan-belakang, mengantisipasi jangan-jangan ada kejutan setan-setan seram, akan dimunculkan dari belakang. Tapi yang kulihat di keremangan hanya wartawan foto yang sibuk menyesuaikan sudut pandang pemotretan. Trothok…trothok … Dari samping kiri, lelaki yang berbadan sedang, berikat kepala khas bali berjalan pelan-pelan menuju stage membunyikan kenthongan. Dari sisi kanan depan layar, seseorang menaruh slide diatas lampu sorot yang mengarah ke layar, menggambari layar dengan siluet-siluet bukit tengkorak. Layar yang dikibas-kibaskan berirama menjadikan tengkorak-tengkorak seolah-olah bergerak-gerak nggleyar-nggleyor. Hentakan musik membangunkan mood dan menghidupkan suasana. Dan mulailah si tokoh bermonolog. Memotret dan menerjemahkan situasi masa kini. Ada rakyat yang lapar, penguasa yang selalu melempar tanggung jawab, hilangnya malu dan harga diri, hilangnya keberpihakan kepada rakyat kecil, nilai-nilai dalam masyarakat yg amburadul, tragedi dan ironi-ironi.

***

Malam itu, di Bentara Budaya, Putu Wijaya ber-monolog membawakan dua karyanya. Yang pertama Surat kepada setan dan yang kedua maaf judulnya disensor. Sedikitnya penonton yang menyaksikan pertunjukan Seniman sekaliber Putu Wijaya, meski hanya membayar 20 ribu perak, menimbulkan pertanyaan bagiku. Apakah promosi nya yang kurang? Waktu yang tidak tepat? Tempat yang tidak strategis? Berkesenian atau menontonnya dianggap kuno dan tidak elit? Karena bukan dari Hollywood? Karena dari negeri sendiri? Apakah sesuatu yg tidak mendatangkan duit tidak penting?

Mataku berkaca-kaca. Kudengar khabar menyedihkan lagi. Setelah busung lapar, kurang gizi, kini 55 orang telah mati dan ratusan orang lainnya kelaparan di yahukimo, Irian. Bagian dari sebuah Negara bernama Indonesia. Bukankah dasar Negara Indonesia diawali dengan ketuhanan dan diakhiri dengan keadilan sosial bagi seluruh rakyat?. Pertanyaan selanjutnya muncul. Apakah tidak ada yang salah dalam mengelola Negara kita? Apakah tidak ada yang salah dalam perilaku kita ketika mengaplikasikan ajaran agama ? Apakah tidak ada yang salah dalam perilaku kita berbangsa dan bermasyarakat? Saya yakin, pastilah ada. Dan kita harus memperbaikinya.

Salam,

Hayat
Penikmat seni dan sayur asem.

0 Comments:

Post a Comment

<< Home