Saturday, December 24, 2005

Interview with my body

Aku sedang sedikit batuk. Suaraku serak-serak, dan tenggorokan rasanya jadi bendungan dahak. Gatal sekali rasanya. Ingin berdehem-dehem terus. Meskipun begitu, ternyata ada sisi baiknya juga: yaitu aku jadi punya waktu berdialog dengan tubuhku sendiri. Tubuh yang selalu setia mengantar kemana pun aku pergi. Sudah lebih dari tiga puluh tahun dia bersamaku, tapi jarang sekali aku ajak dia berdialog. Mungkin kediktatoranku terhadap tubuhku sendiri, melebihi kediktatoran Mussolini atau Hitler yang sering diberitakan media-media. Karena aku sering bertindak semauku terhadapnya, Sering tidak menghiraukannya, sedangkan aku bukanlah pemilik hak paten atas tubuhku sendiri. Semua itu milik Tuhan bukan? Selagi ada waktu, malam ini aku akan coba bercengkrama dan mendengarkan pendapatnya . Jangan sampai akumulasi kediktatoranku, membuat dia demontrasi atau mogok kerja. Kalau itu terjadi, woo !, aku sendiri juga yang akan menanggung akibatnya. Mari kita mulai :

Selamat malam tenggorokan, bagaimana keadaanmu?
Ya, seperti kamu tahu, tidak begitu baik. Aku tidak berdaya menghadapi udara kotor dan virus-virus yang makin menggila. Debu dikacau angin, menghamburkan berjuta partikel menyelusup masuk. Tapi nggak apa-apa, aku yakin tidak ada pengorbanan yang sia-sia.

Maksudnya?
Ya. Paling tidak hidung dan mulut akan lebih berhati-hati memperlakukan aku. Lebih mengenal siapa diriku. Aku bukanlah masochist yang mengerang nikmat ketika dicambuki, atau gemar disiksa dihujani penderitaan. Aku tidak seperti itu. Aku tidak begitu suka bau minuman keras. Aku tidak begitu suka asap rokok. Aku butuh udara yang segar. Tapi apa yang dilakukan hidung dan mulut terhadapku? Seenaknya saja mereka menyemprotkan racun-racun itu kepadaku. Lukaku ini juga sebagai bentuk protes untuk kepentingan yang lebih besar yaitu kesehatan sahabatku si paru-paru.

A. Aku memahami keadaanmu tenggorokan, keluhanmu aku tampung dulu, nanti kita cari solusinya. Hai mulut dan hidung, kamu boleh menyampaikan pledooi sekarang.
B. Salahku? Salahku? Ah. Kita memang sering selalu menyalahkan orang lain dari pada muhasabah dan mencari penyelesaian. Siapa yang tidak iri pada kunang-kunang yang selalu menyesap beningnya embun ? Siapa yang tidak iri, pada burung bul-bul yang menghirup harumnya mawar? Semuanya pasti menginginkannya, termasuk aku. Tetapi lihatlah negaramu ini. Kebun-kebun penghasil bayam digasak, digantikan kedai (franchise) ayam goreng tepung penghasil radikal bebas. Lurah/camat/bupati lebih suka menggusur lapangan hijau untuk dijadikan pusat perbelanjaan. Tidakkah membahagiakan melihat anak-anak kecil berlari-lari, tertawa bebas, menendang-nendang bola, menyerosot di rumput-rumput hijau yang basah dan menyegarkan? menghirup taman kota yang segar? Apakah kita menginginkan anak-anak kita lahir dengan tanda bolong di paru-parunya? Apakah uang yang di dapat lurah/camat/bupati itu sebanding dengan akibat yang ditimbulkan oleh racun-racun konsumerisme yang menikam benak anak-anak, mengeluarkan sikap terpujinya? mengenyahkan kerja keras dan mendewakan uang

Cukup-cukup ! aku sudah mengerti. Aku juga tidak ingin polwan-polwan yang hitam manis itu mandul karena terlalu banyak mabuk asap metromini. Aku juga nggak ingin bayi-bayi kita lahir dengan paru-paru rusak seolah-olah dia merokok 10 bungkus rokok sehari-hari. Aku akan memerintahkan tanganku untuk tidak membuang sampah sembarangan, kalau bisa aku juga akan menanam pohon untuk anak cucu kita kelak. Memelihara lingkungan. Ok..sekarang giliran telinga dan mata. Apa keluhanmu.
Sorry boss. Aku capek mendengar dan ngantuk oleh cerita-cerita kawan-kawanku. Dilanjutkan kapan-kapan saja ya dialognya.


Hayat
Penikmat seni dan sayur asem

0 Comments:

Post a Comment

<< Home